يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا
قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Hasyr : 18).
Ayat ini merupakan dasar hukum adanya muhasabah. Muhasabah artinya
melakukan penghitungan terhadap amal perbuatan yang pernah dilakukan
agar dapat meningkatkan amalan yang baik dan meninggalkan atau
mengurangi amal perbuatan yang tidak baik dan yang sia-sia. Muhasabah
ini merupakan langkah prifentif agar tidak melakukan kesalahan yang
lebih patal dimasa berikutnya, serta untuk dapat memaksimalisasikan
penggunaan sisa umur yang masih ada terutama dalam menghadapi pintu
kematian dan hari depan yang jauh lebih panjang (akhirat), sebab
perbandingan masa kehidupan di dunia dengan akhirat adalah “satu hari
di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia”. (Q. S : al-Sajadah : 5)
Ayat 18 dari Surat al-Hasyr tersebut diatas menyatakan bahwa Allah SWT
memerintahkan agar setiap orang yang beriman memperhatikan apa yang
sudah diperbuatnya, apakah perbuatan itu bermanfaat atau tidak, apakah
kemanfatan itu untuk sesaat (dunia) atau juga untuk akhirat. Jika amal
perbuatan kita perbuat hanya untuk manfaat sesaat, maka sepantasnyalah
bila kita memperbaikinya agar apa yang kita kerjakan dimasa berikutnya
bukan hanya untuk manfaat sesaat tetapi bagaimana agar dapat menjadi
amalan yang manfaatnya untuk juga kehiduapan akhirat nantinya.
Bila ternyata apa yang kita lakukan di dunia ini selain bermanfaat untuk
kepentingan dunia juga untuk kehidupan akhirat, maka patutlah kiranya
kita bersyukur kepada Allah, karena Allah telah memberi petunjuk kepada
kita dan memberikan kemampuan untuk mengikuti petunjuk itu. Tetapi bila
tidak, tentu patutlah kita menyesal dan bertaubat kepada Allah karena
kita telah salah menggunakan rahmat yang diberikan Allah kepada kita.
Selain ayat tersebut diatas, Saiyidina Umar Ibnu Khattab R.a. telah pula
mengingatkan agar melakukan penghitungan (muhasabah) terhadap amal
perbuatan yang pernah kita lakukan, sebelum nantinya Allah sendiri yang
akan melakukan penghitungan, pada hal kita percaya dan yakin bahwa
penghitungan Allah tidak akan pernah keliru.
فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
Artinya:
Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang sangat gampang.
Berkenaan dengan itu Umar Ibn Khatab berkata;
حَاسِبُوْا اَنْفُسَكُمْ قَبْلَ اَنْ تُحَاسَبُوْا وَزِنُوْاهَا قَبْلَ
اَنْ تُوْزَنُوْا (رواه ابو نعيم)
Artinya:
Hitung-hitunglah dirimu sebelum dilakukan penghitungan,
timbang-timbanglah dirimu sebelum dilakukan penimbangan. (H.R. Abu
Nu’im)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah didatangi
seorang laki-laki, lalu laki-laki itu berkata; Ya Rasulullah ! berilah
saya nasehat !. Rasul bersabda; Apakah kamu mau menerima nasehatku ? mau
Ya Rasulullah, jawab laki-laki tadi. Kemudian Rasul berkata; Bila kamu
telah berniat untuk melakukan sesuatu pekerjaan, maka pikirkanlah
terlebih dahulu. Jika ada petunjuk maka teruskanlah, tetapi jika ada
kebimbangan maka hentikanlah. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah wahai orang-orang yang beriman agar kamu mendapat keberuntungan”
(Q.S. al-Nur : 31).
Taubat itu artinya memperhatikan amal perbuatan yang telah dilakukan
dengan penuh penyesalan. Nabi SAW berkata “Sesungguhnya aku memohon
ampun kepada Allah SWT dan bertaubat kepada-Nya dalam satu malam
sebanyak 100 kali”. Saiyidina Umar R.a. memukul-mukul kedua telapak
kakinya dengan cambuk bila malam telah larut sambil berkata kepada
dirinya “Wahai diri apa yang telah kamu perbuat hari ini”.
Hakikat muhasabah telah dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dengan katanya;
Ketahuilah ! bahwa ibarat seorang hamba di waktu pagi hari dia
diwajibkan melakukan sesuatu pekerjaan, sewajarnya bila disore hari dia
memperhitungkan gerak dan diamnya. Ketika dia bergerak tentu dia tidak
diam, untuk apa dia bergerak dan untuk apapula dia diam. Laksana seorang
pedagang yang mencari keuntungan bersama temannya, setiap tahun, bulan
dan hari selalu mencari keuntungan untuk mengumpulkan harta dunia dan
takut betul akan kehilangan meskipun boleh jadi kehilangan harta
merupakan kebaikan buat mereka.
Kalau mereka berhasil mengumpulkan harta yang banyak tentulah tidak akan
kekal kecuali hanya untuk beberapa hari saja kemudian dia lenyap.
Mengapa manusia yang dianugerah akal tidak memperhitungkan dirinya.
Artinya mengapa orang yang berakal meninggalkan penghitungan terhadap
dirinya yang selalu berhubungan dengan kekhawatiran akan mendapat celaka
atau bahagia buat selama-lamanya .Menganggap gampang urusan ini tidak
lain hanyalah kelalaian belaka serta menunjukkan sedikit sekali
mendapatkan taufiq, kita mohon perlindungan Allah dari keadaan semacam
itu (Na’uzubillahi min dzalik).
Berhitung dengan kawan sekerja artinya memperhatikan modal pokok, laba
dan ruginya agar dapat diketahui bertambah atau berkurangnya harta
mereka. Andaikan beruntung tentu dia akan mengambil bagiannya secara
utuh, tetapi jika rugi tentu dia akan menuntut jaminan dan
membebankannya pada perolehan yang akan datang. Modal pokok seorang
hamba dalam agamanya adalah semua jenis fardhu. Keuntungannya adalah
yang sunnat-sunnat dan yang mengandung fadhilah amal. Kerugiannya adalah
semua jenis maksiat. Musimannya atau waktu berdagangnya adalah seluruh
hari. Temannya bekerja adalah nafsunya sendiri yang selalu menjerumuskan
dia dalam kejahatan. Pertamakali hendaklah menghitung-hitung yang
fardhu karena yang fardhu itu merupakan modal pokok baginya.
Jika dia dapat menunaikan yang fardhu seperti shalat, puasa dan lainnya
sesuai dengan ketentuannya, adabnya, syarat dan rukunnya, hendaklah dia
bersyukur kepada Allah dan hendaknya dapat mendorongnya untuk melakukan
amaliah fardhu yang serupa. Jika lewat dari ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan hendaklah dia membayarnya dengan cara qadha karena
membayar secara qadha’ (diluar waktu yang ditentukan) bernilai sama
dengan pembayaran secara ada’ (tepat waktu). Akan tetapi jika
pembayarannya kurang adabnya atau syaratnya, maka hendaklah menempelnya
dengan yang sunnat-sunnat. Jika terlanjur berbuat maksiat seperti zina
sehingga selalu gelisah karena akan mendapatkan akibatnya dan azab serta
cercaan maka hendaklah dia menebusnya dengan memperbaiki apa yang salah
dan memberikan hukuman terhadap dirinya paling kurang melakukan yang
sunnat-sunnat menurut amalan para auliya Allah dan orang-orang shaleh.
Bila seseorang melakukan Muhasabah terhadap dirinya lalu dia menemukan
ada amanah yang dikhianatinya atau perintah yang tidak sempurna
dilakukannya, maka hendaklah dia memperbaikinya dengan bertaubat dan
menempelnya dengan yang sunnat-sunnat seperti yang telah dikemukakan
diatas. Jika tidak sanggup karena dikalahkan nafsu syahwat hendaklah dia
mengobati nafsunya dengan siksaan dan janganlah dia memperturutkan
nafsu syahwatnya itu, sebab jika memperturutkannya tentu akan mudah
berbuat maksiat dan lupa diri serta sulit untuk meninggalkannya karena
akan menjadi statis. Artinya dia akan berkekalan dalam berbuat maksiat,
padahal keadaan semacam itu merupakan penyebab untuk mendapat celaka.
Oleh sebab itu sepantasnyalah menyiksa dirinya karena telah melakukan
perbuatan dosa yang tercela sebagai obat baginya sebab setiap penyakit
itu ada obatnya.
Bila telah memakan sesuap saja dari makanan syubhat berdasarkan
keinginan nafsu, sepantasnyalah bila dia menyiksa perutnya dengan
berlapar-lapar (berpuasa). Jika dia memandang seorang wanita yang bukan
mahramnya sepantasnya pula bila dia menyiksa matanya dengan melarangnya
untuk melihat. Demikian juga dia harus menyiksa seluruh anggota tubuhnya
dengan cara mencegahnya dari keinginan syahwat. Begitulah kebiasaan
orang-orang yang menempuh perjalanan menuju akhirat.
Mansur bin Ibrahim R.a. telah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki ahli
ibadah berbincang-bincang dengan seorang wanita asing, tanpa
disadarinya tiba-tiba laki-laki itu meletakkan tangannya diatas paha
wanita tersebut, kemudian laki-laki itu sangat menyesal atas kejadian
itu, lalu dia memasukkan tangannya kedalam api sampai terbakar.
Diceritakan pula bahwa Hasan bin Abi Saman, memasuki sebuah kamar rumah
mewah. Karena keindahan rumah tersebut hatinya berkata; “Kapan saya bisa
membangun rumah semacam ini”. Setlah itu dia bermuhasabah dengan
memperhatikan kemampuan dirinya, lalu dia berkata kepada dirinya
sendiri; Wahai diri yang malang, kamu meminta seuatu diluar kemampuanmu,
oleh karena itu aku akan menyiksa kamu dengan berpuasa selama satu
tahun. Kemudian dia melakukan puasa selama satu tahun. Riwayat lain
menceritakan bahwa Tamimi al-Dariy. R.a. tertidur semalam suntuk
sehingga dia tidak melakukan shalat tahajjud, padahal biasanya setiap
malam dia shalat tahajjud. Lalu dia menghukum dirinya dengan tidak tidur
selama satu tahun.
Wahai jiwa yang miskin ! Perhatikanlah kelakuan para Nabi dan para wali
Allah. Bagaimana mereka membuat perhitungan (Muhasabah) terhadap diri
mereka pada setiap waktu, setiap saat dan disetiap hembusan nafas.
Mereka menyiksa dirinya bila tergelincir berbuat dosa atau kelalaian.
Perhatikan pula junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beliau beristighfar
memohon ampun kepada Allah SWT setiap harinya tidak kurang dari seratus
kali, padahal beliau dijaga oleh Allah (Maksum) agar tidak tergelincir
kepada dosa kecil apalagi dosa besar. Kalau Nabi saja seperti itu
mengapa kita tidak mau bermuhasabah, tidak mau bertaubat, pada hal kita
selalu berenang di dalam lautan dosa, alangkah celakanya diri kita
ini!.-
Bila seorang hamba telah melakukan muhasabah, maka akan muncullah dua
sifat mulia di dalam dirinya, yaitu sifat takut dan harap (khauf dan
raja). Kedua sifat mulia ini selalu menghiasi sikap dan prilaku seorang
hamba yang taat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Malaikat adalah sosok
makhluk Allah yang sangat ta’at kepada perintah Allah. Mereka tidak
pernah mendurhakai apa saja yang diperintahkan Allah SWT. Abu Laits
berkata; Sesungguhnya Allah Swt. memiliki malaikat-malaikat di langit
yang selalu sujud kepada Allah semenjak mereka diciptakan sampai hari
kiamat, seluruh persendian mereka gemetar karena takut menyalahi
perintah Allah Swt. Apabila telah datang hari kiamat, mereka
mengangkatkan kepalanya dan berkata; Maha suci Engkau Ya Allah, kami
belum mengabdi kepada-Mu dengan sepenuh pengabdian. Ketakutan mereka itu
digambarkan Allah dengan firman-Nya;
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
(النحل: 50)
Artinya:
Mereka takut kepada Tuhannya yang di atas, dan mreka melaksanakan apa
saja yang diperintahkan”. (Q. S : al-Nahl: 50)
Takut kepada Allah membuat dosa-dosa terampuni, Rasulullah SAW
bersabda; “ketika tubuh seorang hamba berkerut karena takut kepada Allah
swt. maka berguguranlah dosa-dosanya bagaikan rontoknya daun-daunan
dari pohonnya”. Banyak kisah nyata yang terjadi dizaman dahulu tentang
seorang hamba yang mempunyai rasa takut kepada Allah kiranya dapat kita
jadikan pelajaran yang berharga agar lebih mendekatkan diri kepada
Allah.
Dizaman dahulu ada satu rombongan musafir yang terdiri dari laki-laki
dan perempuan. Pada suatu ketika mereka beristirahat disuatu tempat
karena kelelahan. Diantara rombongan itu terdapat seorang laki-laki yang
jatuh cinta kepada seorang wanita yang juga termasuk anggota rombongan
tersebut. Di malam yang sunyi sepi wanita itu ingin buang hajat, lalu
laki-laki yang menaruh hati kepadanya itu ikut menemaninya. Ketika
mereka berdua berada ditempat yang sepi sementara rombongan lainnya
sedang tidur pulas, laki-laki itu mengutarakan keinginannya untuk
berbuat mesum dengan wanita tersebut. Wanita itu berkata; “cobalah kanda
lihat terlebih dahulu, apakah teman-teman kita itu sudah tidur semua”.
Mendengar permintaan kekasihnya itu, laki-laki tersebut dengan senang
hati berangkat melihat dan memperhatikan semua anggota rombongan apakah
mereka telah benar-benar tidur atau belum. Ternyata dari hasil
pantauannya mereka semua telah tidur pulas.
Dengan hati yang berbunga-bunga kembalilah dia menemui kekasihnya yang
telah menunggu sendirian ditempat yang sepi. Lalu laki-laki itu berkata
kepada kekasihnya itu “mereka semua sudah tidur”. Wanita itu bertanya
lagi; Bagaimana pendapatmu tentang Allah, apakah saat ini Dia tidur ?.
dengan tubuh gemetar laki-laki itu menjawab “sungguh Allah tidak pernah
ngantuk dan tidak pernah pula Dia tidur”. Akhirnya wanita itu berkata
“Sesungguhnya Allah yang tidak tidur saat ini dan selamanya Dia tidak
pernah ngatuk dan tidur, tentu akan melihat apa yang kita lakukan
meskipun mereka rombongan kita itu dalam keadaan tidur nyenyak, oleh
karena itu tentu Allah lebih pantas kita takuti daripada manusia.
Akhirnya laki-laki itu langsung meninggalkan tempat tersebut dan kembali
ketempat peristirahatannya dengan sekujur badannya gemetar.
Di malam itu juga dia bermuhasabah dia mengingat-ingat perbuatannya
tadi, dia sangat menyesal, dan dia memohon ampun kepada Allah atas
kelancangannya itu. Tidak lama setelah itu laki-laki tersebut meninggal
dunia, selang beberapa malam setelah dia meninggal banyak orang berminpi
bertemu dengannya, meraka bertanya kepada laki-laki itu bagai mana
Allah memperlakukannya, laki-laki itu menjawab bahwa Allah telah
mengampuni dosa-dosanya karena dia meninggalkan perbuatan dosa
disebabkan takut kepada Allah. (al-Ghazali, Mukasyfatu al-Qulub : 1977 :
9).
Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali memaparkan cerita pengarang kitab
Mujammi’ al-Lathaif bahwa dizaman Nabi Musa A.s. hiduplah seorang
‘abid miskin yang mempunyai banyak anggota keluarga. Pada suatu hari
mereka ditimpa kelaparan dan tidak ada makanan yang dapat mereka makan,
mau membelipun uang tidak punya. Melihat anak-anaknya menangis
kelaparan, disuruhnyalah isterinya menemui seorang saudagar kaya untuk
meminta makanan. Lalu berangkatlah isterinya itu seorang diri menemui
saudagar kaya tersebut dan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangnnya.
Mendengar cerita perempuan tersebut, saudagar kaya itu berkata; saya mau
membantumu dan keluargamu, asalkan kamu mau melayani keinginanku”.
Mendengar tawaran tersebut perempuan itu terdiam, lalu dia pulang dengan
tangan hampa. Sesampainya dia dirumah, perempuan itu mendapatkan
anak-anaknya menangis dan merintih. ibu…! Ibu….! berilah kami makan,
kami sudah tidak kuat lagi menahan derita kelaparan ini, ibu ! berilah
kami apa saja yang dapat kami makan, kalau tidak tentu kami akan mati
kelaparan.
Dengan tetesan air mata mendengar rintihan anak-anaknya, perempuan itu
kembali lagi kerumah saudagar kaya tersebut. Dia menceritakan apa yang
mereka alami, dia ceritakan pula rintihan anak-anaknya yang kelaparan,
tapi saudagar kaya tersebut tidak peduli, dan tetap pada tawarannya
semula; “saya mau membantumu dan keluargamu asalkan kamu mau
melayaniku”. Karena tuntutan keadaan, wanita itu menganggukkan kepalanya
sebagai pertanda persetujuannya untuk melayani napsu birahi saudagar
kaya tersebut.
Ketika mereka berdua sudah masuk kedalam kamar, gemetarlah sekujur tubuh
wanita itu, sendi-sendi seakan copot dari tempatnya. Lalu saudagar kaya
itu bertanya; mengapa kamu gemetar, dan kamu tidak usah takut kepadaku,
karena aku tidak akan menyakitimu. Wanita itu menjawab dengan penuh
rasa takut. “Tuan ! saya sebenarnya bukan takut kepada tuan, tapi saya
takut kepada Allah, bukankah perbuatan kita ini dilihat dan diperhatikan
Allah ?”.
Mendengar ucapan perempuan tersebut, saudagar kaya itu sadar dan diapun
berkata; kamu yang miskin ini masih takut kepada Allah, seharusnya saya
lebih takut kepada Allah daripada kamu. Sekarang kamu pulang saja dan
bawalah pemberianku ini untukmu dan keluargamu, berilah mereka makan
serta maafkanlah kelancanganku. Akhirnya perempuan itu pulang kerumahnya
dengan membawa berbagai macam makanan dan keperluan lainnya sebagai
hadiah dari saudagar kaya tersebut.
Tidak lama setelah itu turunlah titah Allah kepada Nabi Musa a.s. yang
memerintahkan agar Nabi Musa menyampaikan firman Allah; “Katakanlah
kepadanya (saudagar kaya itu) bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosanya”.
Berangkatlah Nabi Musa menemui saudagar kaya itu dan berkata; amal
shaleh apa yang telah engkau perbuat hingga Allah mengampuni dosa-dosamu
?. Saudagar itu menceritakan tentang apa yang telah dialaminya bahwa
dia mengurungkan niatnya melakukan perbuatan mesum dengan seorang wanita
lantaran takut kepada Allah. Mendengar cerita itu Nabi Musa A.s.
berkata; “sesungguhnya Allah benar-benar telah mengampuni dosa-dosamu
yang telah lalu”.
Seorang hamba yang melakukan muhasabah hingga terbitlah rasa takutnya
kepada Allah mengingat banyaknya dosa yang telah dilakukan, sedangkan
permohonan ampun yang selalu dilantunkannya tidak pernah diketahui
apakah dikabulkan Allah atau tidak, tentu akan membuat air mata menetes
karena penyesalan yang mendalam, mengapa umur yang telah dilewati tidak
untuk beramal shaleh, mengapa kertas putih kehidupan ini banyak dihiasi
dengan catatan-catatan hitam, bukankah buku catatan kehidupan ini kelak
akan diserah terimakan kepada yang bersangkutan, alangkah celakanya bila
ketika itu buku catatan amal diterima dari arah sebelah kiri yang
menunjukkan nilai dan prestasi yang sangat jelek, disaat itu penyesalan
tidak akan ada lagi artinya.
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ
أُوتَ كِتَابِيَهْ . وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ . يَالَيْتَهَا
كَانَتِ الْقَاضِيَةَ . مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ . هَلَكَ عَنِّي
سُلْطَانِيَهْ. خُذُوهُ فَغُلُّوهُ . ثُمَّ لْجَحِيمَ صَلُّوهُ . ثُمَّ فِي
سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ . إِنَّهُ كَانَ
لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ (الحقة : 25 – 33)
Artinya:
Adapun orang yang kepadanya diberikan kitab dari sebelah kirinya, maka
dia berkata: Alangkah baiknya andaikan kitab ini tidak diberikan
kepadaku, dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai
kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku
sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan
dariku (Allah berfirman): "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke
lehernya." Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang
menyala-nyala. Lalu belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh
puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang
Maha Besar. (Q.S. al-Haqqah : 25 – 33).
Penyesalan yang mendalam ketika itu sungguh tidak akan ada lagi
artinya, tepatlah kata pepatah “sesalilah dahulu pendapatan, karena
sesal kemudian takkan ada gunanya”. Penyesalan sesudah kematian tentu
takkan berguna, tetapi penyesalan sebelum datang waktu kematian tentu
sangat berguna, sebab penyesalan yang mendalam pada saat sekarang ini
akan menimbulkan tangisan dengan tetesan air mata, padahal tetesan air
mata penyesalan itu akan memadamkan api neraka. Nabi SAW bersabda;
“Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah,
entah kalau air susu kembali ketempat asalnya” .
Bulu mata yang basah karena tetesan air mata penyesalan dan ketakutan
kepada Allah akan menjadi saksi di akhirat nanti bahwa orang yang
bersangkutan telah bertaubat kepada Allah sehingga menyebabkan dia masuk
kedalam syurga meskipun yang semula dia telah diputuskan untuk masuk
neraka. Dalam kitab Daqaiqu al-Akhbar dijelaskan bahwa pada hari kiamat
nanti ada seorang hamba yang timbangan dosanya jauh lebih berat dari
pahalanya, sehingga kepada para malaikat diperintahkan untuk membawa
orang tersebut kedalam neraka. Lalu satu helai bulu matanya angkat
bicara; ”Ya Rabby ! Rasul-Mu Muhammad Saw telah bersabda ‘siapa yang
menangis karena takut kepada Allah, maka Allah mengharamkannya masuk
neraka’, sungguh aku pernah menangis karena takut kepada Mu Ya Allah”.
Kemudian Allah mengampuni dosa-dosanya dan memerintahkan kepada malaikat
untuk membawa orang itu kedalam syurga. Lalu malaikat Jibril A.s.
mengumumkan bahwa fulan bin fulan selamat dari siksaan neraka karena
sehelai bulu matanya.
Takut kepada Allah artinya takut akan siksaan dan ancaman Allah karena
kesalahan hamba selama hidupnya di dunia ini. Dalam realitas kehidupan
berbagai macam sebab yang membuat orang takut akan siksaan Allah itu.
Ada yang takut atas perbuatan syiriknya, ada yang takut atas dosa
kedustaannya, ada yang takut karena kurang ibadahnya, dan lain
sebagainya. Dan karena rasa takut itu pulalah salah satu penyebab
seorang hamba masuk syurga dan terlepas dari neraka. Kita membaca riwaya
zaman dahulu, betapa seorang hamba masuk syurga karena sehelai bulu
mata yang pernah basah terkena air mata penyesalannya atas dosa yang
pernah dia lakukan. Begitu juga betapa seorang hamba masuk syurga karena
seekor lalat, dan betapa seseorang yang juga masuk neraka gara-gara
seekor lalat.
Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Nabi SAW pernah menceritakan tentang
seorang hamba yang masuk neraka karena seekor lalat, dan seorang hamba
masuk syurga karena seekor lalat. Para sahabat yang hadir ketika itu
bertanya; Ya Rasulullah! mengapa sampai terjadi seperti itu ?. Lantas
Nabi bercerita; Pada suatu hari ada dua orang musafir melewati
sekelompok orang yang sedang menyembah berhala. Mereka berdua ini tidak
dibenarkan melewati tempat itu sebelum mereka memberikan sesajian kepada
berhala yang mereka sembah, pada hal tidak ada jalan lain yang dapat
dilewati selain jalan tersebut.
Para penyembah berhala itu memerintahkan kepada dua orang musafir ini
untuk memberikan sesajian kepada berhala yang mereka sembah. Keduanya
berkata; “Kami tidak punya apa-apa yang dapat kami persembahkan kepada
berhala ini”. Penjaga berhala lantas memanggil mereka berdua satu
persatu, dan kepada musafir yang dipanggil pertama dipaksa untuk
memberikan sesajian untuk berhala itu walaupun hanya seekor lalat. Lalu
orang ini mencari seekor lalat dan dia mendapatkannya kemudian dia
persembahkan kepada berhala itu, akhirnya orang ini diperkenankan
meneruskan perjalanannya tanpa diganggu oleh para penjaga berhala
tesebut. “orang ini masuk neraka” kata Nabi SAW.
Kemudian dipanggil pula musafir yang keduanya, dan kepadanya
diperintahkan pula mencari seekor lalat untuk dipersembahkan kepada
berhala yang mereka tunggui itu. Tetapi musafir yang kedua ini berkata;
“berkurban untuk selalin Allah adalah syirik, dan saya takut kepada
Allah atas perbuatan syirik ini, untuk itu saya tidak mau berkurban
selain hanya untuk Allah saja”. mendengar jawaban musafir yang kedua
ini, penjaga berhala itu marah, lalu dipenggallah lehernya. Tetapi orang
ini masuk syurga, kata Nabi SAW.
Kisah-kisah diatas menunjukkan betapa rasa takut kepada siksaan Allah
mampu memunculkan rasa cinta (mahabbah) kepada Allah yang pada
gilirannya memunculkan pula rasa harap (raja’) akan rahmat-Nya yang Maha
Luas, kasih-Nya yang tak pilih kasih, sayang-Nya yang tak alang
kepalang. Semoga kita semua termasuk orang yang dikasihi dan disayangi
Allah sehingga melimpahlah rahmat dari-Nya. Amien Ya Rab al-‘Alamin.
Drs. KH. Muhammad Rusfi,MA
Komentar
Posting Komentar